ADAB PENUNTUT ‘ILMU

Ditulis oleh: Abu Alisa

بسم الله الرحمن الرحيم

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah subhanahu wata’ala Rabb semesta alam, shalawat dan salam atas Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, juga atas keluarga, sahabat dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik hingga Hari Kiamat. Amma Ba’du.

Menuntut ilmu syar’i termasuk amalan yang paling utama, bahkan termasuk jihad fi sabilillah. Terutama di zaman ini, di mana bid’ah (perkara baru yang diada-adakan di dalam agama ini) semakin marak dan tersebar luas ditengah-tengah masyarakat islam, dan kaum muslimin telah banyak berpegang pada fatwa-fatwa yang tidak berdasarkan ilmu syar’i serta banyak terjadi perdebatan dalam masalah agama yang tidak merujuk kepada ilmu, padahal terkadang perkara tersebut telah jelas berdasarkan ilmu syar’i.

Oleh karena itu, setiap muslim dituntut untuk mempelajari ilmu syar’i dalam rangka memperbaiki amalnya dan sebagai bekal baginya di akhirat nanti, yaitu di mana setiap orang dituntut untuk mempertanggung jawabkan setiap amalnya.

Di dalam usahanya untuk mempelajari ilmu syar’i, seorang penuntut ilmu seharusnya menghiasi dirinya dengan adab-adab berikut ini:

Pertama: Ikhlas

Yakni semata-mata mengharapkan wajah Allah ‘azza wa jalla dan negeri akhirat. Sebab mempelajari ilmu syar’i adalah perkara yang diperintahkan dan dipuji oleh Allah subhanahu wata’ala, dengan demikian mempelajarinya adalah ibadah karena tidak ada sesuatu yang diperintahkan atau dipuji oleh Allah subhanahu wata’ala kecuali perkara tersebut adalah ibadah, dan setiap ibadah harus dikerjakan dengan penuh keikhlasan.

Kedua: Berniat untuk menghilangkan kejahilan dirinya dan kejahilan orang lain

Seorang penuntut ilmu hendaknya berniat menghilangkan kejahilan (kebodohan) dari dirinya dan selainnya, sebab asalnya manusia diciptakan dalam kedaaan jahil. Allah subhanahu wata’ala berfirman;

وَاللّهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَ تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ الْسَّمْعَ وَالأَبْصَارَ وَالأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. [QS. An-Nahl: 78]

Imam Ahmad rahimahullah berkata: “tidak ada sesuatupun yang menandingi ilmu bagi orang yang benar niatnya”. Beliau ditanya: “Bagaimana orang yang benar niatnya?” Beliau menjawab: “Yaitu orang yang berniat untuk menghilangkan kejahilan dari dirinya dan dari selainnya”.

Ketiga: Berniat untuk Membela Syari’at

Penuntut ilmu ketika menuntut ilmu hendaknya ia berniat untuk membela syariat. Sebab kitab-kitab tidak akan mungkin bisa membela syariat. Seandainya seorang ahlul bid’ah datang ke sebuah perpustakaan yang penuh dengan kitab dan berbicara tentang bid’ahnya, maka tidak akan mungkin ada satu kitab pun yang akan membantahnya, akan tetapi jika dia berbicara tentang bid’ahnya di sisi seorang ahli ilmu, maka ahli ilm tersebut akan membantahnya bahkan membatalkan ucapannya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Keempat: Merasa Lapang Dada di dalam Menghadapi Perselisihan yang bersumber dari Ijtihad

Perselisihan yang terjadi di kalangan ulama ada yang di dalamnya tidak ada ruang untuk berijtihad dan perkaranya telah jelas, maka dalam hal ini seseorang tidak diberi udzur/alasan berselisih, dan ada yang di dalamnya terdapat ruang untuk berijtihad, maka dalam hal ini seseorang diberi udzur untuk berbeda pendapat. Adapun menyelisihi jalannya para ulam terdahulu (salaf) seperti dalam masalah aqidah maka tidak seorangpun dibenarkan untuk menyelisihi jalannya para salafush shalih.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah berkata: “Dan para shohabatpun semoga Allah subhanahu wata’ala meridhoi mereka berbeda pendapat dalam beberapa masalah namun mereka tetap menyatukan hati dan mereka tetap saling mencintai”.

Bahkan Syaikh Al Utsaimin mengatakan: “sesungguhnya jika seseorang menyelisihi engkau berdasarkan konsekuensi dalil yang ada pada dia, maka pada hakikatnya dia mencocoki engkau, karena kalian berdua masing-masing mencari kebenaran (berdasarkan konsekuensi dalil), dengan demikian maka tujuannya satu yaitu untuk mencapai kebenaran berdasarkan dalil”.

Adapun orang yang menentang dan sombong setelah nampak kebenaran, maka tidak ada keraguan tentang wajibnya dia disikapi dengan sikap yang pantas baginya setelah dia menentang dan menyelisihi kebenaran.

وَلِكُلِّ مَقَام مَقَال

Kelima: Mengamalkan ilmu

Hendaknya seorang penuntut ilmu beramal dengan ilmu yang telah dia miliki, baik aqidah, ibadah, akhlak, adab maupun muamalah. Karena amal merupakan buah dan hasil dari ilmu. Orang yang memiliki ilmu seperti orang yang memegang senjata, mungkin dengan senjata itu akan membela dia dan mungkin pula akan menghantam dia. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Artinya: “Al-Qur’an adalah hujjah yang akan membela kamu atau menghantam kamu”. [HR. Muslim]

Dengan demikian wajib bagi penuntut ilmu syar’i untuk beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala sesuai dengan ilmu syariat yang dia miliki tanpa menambah atau menguranginya sedikitpun, dan tidak boleh berdasarkan perasaan hati atau jiwanya dan tidak boleh semata-mata mengikuti apa yang lapang bagi dadanya, tapi hendaknya dia menimbang amal ibadahnya dengan timbangan syariat, sebab sangat mungkin syaithon menghiasi amal buruknya sehingga dia menganggapnya baik sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala :

أَفَمَن زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَن يَشَاء وَيَهْدِي مَن يَشَاء فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

Artinya: “Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan)? Maka Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; Maka janganlah dirimu binasa Karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. [QS. Fathir: 8]

Keenam: Berdakwah di jalan Allah subhanahu wata’ala

Mendakwahkan syariat Allah subhanahu wata’ala yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki tiga atau empat tingkatan, sebagaimana termaktub dalam firman Allah subhanahu wata’ala :

ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ……

Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…..”. [Q.S. An Nahl : 125]

Hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.

Dan tingkatan keempat terdapat dalam firman Allah subhanahu wata’ala :

وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ

Artinya: “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka. [QS. Al-Ankabut: 46]

Yang dimaksud dengan orang-orang yang zalim ialah: orang-orang yang setelah diberikan kepadanya keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan dengan cara yang paling baik, mereka tetap membantah dan membangkang dan tetap menyatakan permusuhan.

Dan di dalam berdakwah haruslah dengan dasar ilmu syariat dan di atas bashiroh. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي

Artinya: “Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata (bashiroh), …”. [QS. Yusuf: 108]

Ketujuh: Hikmah

Hendaknya bagi setiap penuntut ilmu berhias dengan hikmah. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

يُؤتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَاء وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ الأَلْبَابِ

Artinya: “Allah menganugerahkan Al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar Telah dianugerahi karunia yang banyak. dan Hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”. [QS. Al-Baqarah: 269]

Orang yang memiliki hikmah adalah otang yang menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Maka ketika berdakwah hendaknya menggunakan uslub (cara) dakwah yang paling bisa diterima, sebagai contoh:

Ketika seorang A’robi (Badui) kencing di masjid, serta merta para shohabat mencegahnya, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mereka mencegahnya dan membiarkan Badui tersebut menyelesaikan kencingnya lalu memanggilnya dan berkata kepadanya: “Sesungguhnya kencing dan buang hajat tidak pantas dilakukan di masjid, hanyalah masjid itu merupakan tempat berdzikir kepada Allah ‘azza wa jalla, sholat dan membaca Al-Qur’an”. [HR. Bukhari dan Muslim]

Maka Badui tersebut merasa lapang dan menerima hingga dia berdoa: “Yaa Allah, rahmatilah aku dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan janganlah engkau rahmati selain kami”.

Contoh lainnya, yaitu tentang Mu’awiyah bin Hakam As- Sulamy, dia berkata: “ketika aku sholat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba-tiba ada yang bersin, maka aku mengucapkan yarhamukalloh Maka para jamaah menatapku, akupun berkata: “Mengapa kalian memperhatikan aku?” maka mereka memukulkan kedua tangan mereka ke paha mereka. (Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai sholat) – ayah dan ibuku menjadi jaminannya, aku tidak pernah melihat seorang pengajar yang lebih baik pengajarannya daripada Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Demi Allah, beliau tidak marah kepadaku, tidak memukulku dan tidak mencaciku.

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya:

“Sesungguhnya tak pantas di dalam sholat ada pembicaraan manusia, hanyalah sholat itu berisi tasbih, takbir, dan bacaan Al-Qur’an”. [H.R. Muslim]

Di sisi lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melihat seorang lelaki memakai cincin emas -dan memakai cincin emas haram hukumnya bagi laki-laki- maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melepaskan cincin emas tersebut dan melemparkannya, lalu Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

يَعْمِدُ اَحَدُ كُمْ إِلَى جَمْ رَةٍ مِنْ نَّارٍ فَيَضَعُهَا فِيْ يَدِهِ

Artinya: “Salah seorang dari kalian mengambil bara api lalu meletakkannya di tangannya”. [H.R. Muslim]

Dari contoh-contoh tersebut kita dapati bahwasanya dakwah harus dijalankan dengan hikmah sesuai dengan perintah Allah subhanahu wata’ala.

Kedelapan: Bersabar di atas Ilmu

Yakni seorang penuntut ilmu hendaknya tidak berputus asa dan tidak bosan bahkan hendaknya dia terus menerus mempelajari ilmu sesuai dengan kemampuannya. Sebab jika persaan bosan sudah merasuki manusia dalam menuntut ilmu, maka dia akan merasa lelah bahkan meninggalkannya. Akan tetapi jika dia bersabar di atas ilmu, maka sungguh dia akan emperoleh pahala dari kesabarannya dan dia akan memperoleh akibat yang baik. Perhatikan firman Allah subhanahu wata’ala ketika menyeru nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dalam Al-Qur’an surah Huud ayat 49:

….. فَاصْبِرْ إِنَّ الْعَاقِبَةَ لِلْمُتَّقِينَ

Artinya: “…… maka bersabarlah; Sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa”.

Kesembilan: Memuliakan dan Menghargai Ulama

Setiap penuntut ilmu wajib memuliakan dan menghargai ulama serta berlapang dada terhadap perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan mereka dan memberi uddzur kepada ulama di dalam perkara yang mereka salah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

كُلُّ ابْنِ ادَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُاْلخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ

Artinya: “Setiap bani Adam banyak melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang banyak bersalah adalah orang yang banyak bertaubat”. [H.R. Imam Ahmad dan selainnya].

Kesepuluh: Berpegang Teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah

Para penuntut ilmu wajib memiliki semangat yang sempurna untuk mengambil ilmu dari pokoknya (akarnya) yaitu:

1. Al Qur’an

Seorang penuntut ilmu wajib bersemangat membaca, menghafal, memahami dan mengamalkan isi Al Qur’an, karena Al Qur’an adalah tali yang kokoh dan pondasi seluruh ilmu. Para salafus sholeh adalah orang memiliki semangat paling tinggi dalam menghafalkan Al Qur’an sehingga sebagian dari mereka telah menghafal Al Qur’an sebelum berumur 7 tahun, dan sebagian lainnya bisa menghafalkan Al Qur’an dalam waktu kurang dari sebulan.

Sungguh sangat disayangkan, sebagian penuntut ilmu tidak bersemangat menghafal Al Qur’an bahkan tidak bersemangat memperbaiki bacaan Al Qur’annya, dan ini merupakan cacat yang besar dalam manhaj penuntut ilmu. Karena itulah Asy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah tegaskan bahwasanya wajib atas penuntut ilmu untuk bersemangat menghafal, memahami, mengamalkan dan mendakwahkan Al Qur’an sesuai dengan pemahaman salafus sholeh.

2. As Sunah

As Sunnah merupakan sumber syari’at islam yang kedua setelah Al Qur’an, dan ia merupakan penjelas bagi Al Qur’an. Maka wajib bagi penuntut ilmu untuk menetapi Al Qur’an dan As Sunnah yang shohih, dimana keduanya bagi penuntut ilmu bagaikan dua sayap bagi seekor burung, jika salah satu syapnya patah maka ia tidak akan bisa terbang. Oleh sebab itu janganlah semata-mata menjaga As Sunnah tetapi melupakan Al Qur’an dan janganlah semata-mata menjaga Al Qur’an tetapi melupakan As Sunnah.

Kesebelas: Tatsabbut (teliti)

Diantara adab terpenting yang wajib bagi penuntut ilmu untuk berhias dengannya adalah tatsabbut terhadap berita-berita yang dinukil dan terhadap hukum-hukum yang ditetapkan atas seseorang. Jika suatu berita dinukil maka pertama-tama hendaknya diteliti apakah benar nukilan tersebut atau tidak, dan jika benar maka selanjutnya harus diteliti hukum yang ditetapkan; karena terkadang suatu hukum ditetapkan atas dasar kejahilan sehingga kadang seseorang ditetapkan bersalah padahal sebenarnya tidak bersalah. Di sisi lain tatsabbut (teliti) merupakan perkara penting karena kadang-kadang orang yang menukil berita memiliki niat yang buruk dimana dia sengaja menukil perkara yang buruk didengar, dan kadang pula dia tidak berniat buruk namum dia salah dalam memahafi maksud pembicaraan. Oleh karena itu wajib tatsabbut!

Dan jika sanad berita yang dinukil tersebut kuat, maka selanjutnya ditempuh jalan munaqoshoh (debat ilmiah) oleh orang yang meiliki kemampuan di dalamnya sebelum menetapkan hukum.

Kesimpulannya adalah: jika dinukil berita tentang kesalahan seseorang, maka hendaknya ditempuh tiga langkah secara berurutan:

1. Tatsabbut tentang kebenaran berita tersebut

2. Menyelidiki kebenaran hukum yang ditetapkan. Jika nampak kesalahan orang tersebut maka ditempuhlah langkah yang ketiga.

3. Menghubungi orang tersebut untuk mendebatnya dengan cara tenang dan saling menghormati. (Debat ini dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan)

Kedua belas: Bersemangat untuk Memahami Maksud Allah subhanahu wata’ala dan Maksud Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Diantara perkara penting dalam menuntut ilmu adalah pemahaman terhadap maksud Allah subhanahu wata’ala dan maksud Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena banyak manusia yang diberi ilmu tetapi tidak diberi pemahaman. Tidaklah cukup semata-mata menghafal kitab Allah subhanahu wata’ala dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tanpa memahaminya sesuai maksud Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.

Betapa banyak cacat yang terjadi pada manusia yang mana mereka berdalil dengan nash-nash yang tidak sesuai dengan maksud Allah subhanahu wata’ala dan Rasuln-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dan mereka sesat karenanya. Dan ketahuilah bahwasanya kesalahan di dalam pemahaman kadang lebih berbahaya daripada kesalahan karena kejahilan. Karena orang yang jahil yang salah karena kejahilannya mengetahui bahwa dirinya jahil maka dia akan belajar, akan tetapi orang yang salah pemahaman meyakini bahwa dirinya adalah orang yang alim yang benar dan meyakini bahwasanya apa yang dia pahami itu sesuai dengan maksud Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagai contoh, jika dihadapanmu ada air yang hangat dan ada air yang dingin pada musim dingin kemudian datang seorang yang hendak mandi junub, maka sebagian orang berfatwa, yang afdhol (lebih utama) adalah engkau memberi dia air yang dingin karena menggunakan air yang dingin mengandung kesulitan dan sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Maukah perkara yang dengannya Allah ta’ala akan menghapuskan kesalahan-kesalahan dan mengangkat derajat?” Para shohabat radhiyallahu ‘anhum berkata: “Mau yaa Rasulullah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Menyempurnakan wudhu di saat sulit yakni di saat musim dingin”.

Maka mereka salah dalam berfatwa dengan berdalilkan hadits tersebut. Mereka salah karena salah di dalam pemahamannya dan bukan di dalam ilmu, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِسْبَاغُ الْوُضُوءِعَلىَ الْمَكَارِهِ…

Artinya: “Menyempurnakan wudhu di saat sulit”. [H.R Muslim]

Bukan menyatakan: “Hendaknya engkau memilih air yang dingin untuk berwudhu”. Jadi tidak ada dalil yang menghalangi dari menghangatkan air untuk menyempurnakan wudhu. Kemudian kita menyatakan bahwasanya Allah subhanahu wata’ala menghendaki kemudahan bagi hambanya dan tidak menghendaki kesulitan. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ ….

Artinya: “Allah menghendaki bagi kalian kemudahan dan tidak menghendaki bagi kalian kesulitan”. [QS Al Baqarah: 185]

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ

Artinya: “Sesungguhnya agama ini adalah mudah” [HR. Al Bukhori]

Inilah sebagian adab yang seharusnya dimiliki oleh setiap penuntut ilmu agar dengan adab ini berbekas dalam ilmunya qudwah (contoh/teladan) yang baik sehingga ia menjadi seorang da’i (penyeru) kepada kebaikan dan pemimpin di dalam agama Allah ‘azza wa jalla. Maka dengan kesabaran dan keyakinan engkau akan menjadi pemimpin di dalam agama sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla:

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

Artinya: “Dan kami jadikan diantara mereka pemimpin-pemimpin yang diberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami”. [QS As Sajdah: 24]

وَالله ُتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَلَمِيْنَ

Maroji’ (kitab rujukan):

Kitabul ‘Ilmi, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah.

******

Sumber: Booklet Dakwah Al-Ilmu. Diterbitkan oleh: Pondok Pesantren Minhajus Sunnah Kendari. Jl. Kijang (Perumnas Poasia) Kelurahan Rahandouna, Kecamatan Poasia, Kota Kendari.

http://salafykendari.com